Semua orang pasti pernah mengalami sakit kepala. Data menunjukkan bahwa 90 persen populasi manusia pernah mengalami gangguan nyeri ini sekali atau dua kali dalam setahun. Tak heran, obat sakit kepala seolah menjadi obat yang “wajib” ada dalam kotak obat keluarga di rumah-rumah. Sakit kepala banyak ragam dan penyebabnya.
Antara lain yang disebabkan ketegangan otot (tension); sakit kepala bertumpu (cluster) yang biasanya terjadi di belakang mata dan menyerang secara tiba-tiba; serta migrain atau populer dengan sebutan sakit kepala sebelah.
Nah, di antara ketiga jenis sakit kepala tersebut,migrain termasuk yang cukup mengganggu, dan konon meningkatkan risiko depresi dan masalah kesehatan lainnya.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika pada 2003-2004 silam misalnya, menyebutkan bahwa sakit kepala kronik, terutama migrain dan sakit kepala akibat ketegangan otot, yang disusul dengan beberapa gejala somatik, dapat meningkatkan risiko kelainan depresi pada wanita.
Gejala asomatik itu sendiri mengacu pada gejala fisik yang bersumber dari masalah psikologis, bukannya fisik. Gejala ini meliputi sakit perut, sakit pada tungkai dan lengan, sulit tidur, mual atau muntah, serta jantung berdebar.
“Literatur tentang depresi dan sakit kepala kronik cukup kuat. Temuan kami menunjukkan bahwa sakit kepala kronik, sakit kepala tak tertahankan, dan beberapa gejala somatik bersinergi sehingga menyebabkan peningkatan risiko depresi,” kata Dr Gretchen E Tietjen dari the University of Toledo-Health Science Campus di Ohio, yang menjabat ketua tim penulis studi tersebut.
Laporan yang dimuat dalam jurnal Neurology tersebut juga menyebutkan, sakit kepala kronik mempunyai lebih sedikit efek risiko depresi dibandingkan efek kombinasi dari sakit kepala ringan dengan gejala somatik. Ketika kepala mulai terasa sangat sakit dan gejala somatik menghebat, risiko depresi pun meningkat secara nyata.
Dalam penelitian yang melibatkan lebih dari 1.000 wanita penderita sakit kepala ini mendapati bahwa pada wanita penderita jenis sakit kepala migrain angka perbandingan depresinya empat kali lebih tinggi. Adapun jika beberapa gejala somatik juga muncul, rasionya meningkat menjadi 25,1 untuk semua tipe sakit kepala dan 31,8 untuk migrain.
Tietjen mengemukakan, orang dengan sakit kepala kronik cenderung memiliki banyak keluhan somatik seperti mual, sakit panggul dan fibromyalgia.Ia juga mensinyalir adanya faktor nonfisik yang turut berperan meningkatkan risiko depresi pada para partisipan penelitian tersebut. Misalnya tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah,pengaruh kekerasan terhadap wanita.
Penelitian tentang migrain itu sendiri memang lebih banyak dilakukan pada wanita, mengingat kaum hawa umumnya 2-3 kali lebih sering terkena migrain dibandingkan laki-laki. Di seluruh dunia, migrain diperkirakan mengenai 25 persen wanita dan 10 persen pria.
Ancaman lain bagi penderita migrain juga dikemukakan tim peneliti dari Brigham&Women’s Hospital dan Sekolah Kedokteran Harvard di Boston, Amerika.
Mereka mengemukakan bahwa wanita yang mengalami migrain setiap minggu berisiko lebih tinggi terkena stroke dibandingkan mereka yang hidup tanpa derita sakit kepala sebelah ini. Di sisi lain, jika migrainnya jarang kambuh, risiko yang mengintai adalah serangan jantung. Keduanya tentu sama-sama tidak menguntungkan.
Kesimpulan tersebut didasarkan pada analisis data kesehatan dari 28.000 wanita usia 45 tahun atau lebih. Data awal menyebutkan tak satu pun dari ribuan wanita ini yang mengidap penyakit jantung maupun stroke. Namun, dalam catatan kesehatan 12 tahun kemudian ditemukan data bahwa wanita yang mengalami kekambuhan migrain setidaknya seminggu sekali berisiko 49 persen lebih tinggi erkena serangan jantung,serta peningkatan risiko stroke hampir tiga kali lipat.
Wakil Kepala Divisi Saraf Montefiore Headache Center di New York City, Dr Richard Lipton, berpandangan bahwa kendati risiko tersebut bukan “harga mati” bagi penderita migrain, studi lanjutan tetap harus dilakukan untuk mengetahui keterkaitan migrain dengan berbagai faktor risiko penyakit kardiovaskular (PKV).
Sebabnya, serangan jantung dan stroke juga dikategorikan PKV, suatu penyakit yang terkait kelainan jantung dan pembuluh darah. “Seorang penderita migrain harus mewaspadai dan pandai mengelola berbagai faktor risiko, seperti tekanan darah tinggi, diabetes, merokok, kolesterol tinggi, dan masalah berat badan,” ujar Lipton yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut.
Pada penelitian sebelumnya, tim yang sama juga mendapati adanya peningkatan risiko masalah kardiovaskular pada pria maupun wanita penderita migrain, terutama jika disertai gangguan visual yang disebut aura.
Hal ini juga diamini studi terbaru yang menyebutkan bahwa wanita penderita migrain dengan aura berisiko lebih tinggi terkena stroke, terutama bila mereka merokok atau mengonsumsi kontrasepsi oral.
Aura itu sendiri merupakan perasaan maupun fenomena yang subjektif dialami individu sebelum mendapat serangan penyakit. Menurut National Headache Foundation, sekitar 20 persen penderita migrain mengalami aura. Pada migrain dengan aura atau disebut juga dengan classic migrain biasanya didahului prodromal gejala neurologis dan sering kali bersifat visual, seperti pandangan menjadi kabur dan tampak semacam garis-garis zig-zag ataupun gelombang seperti situasi di saat kita berada di tengah jalan dalam cuaca panas yang terik.
Menurut Lipton, serangan migrain berulang mungkin saja punya pengaruh langsung terhadap risiko stroke. Logikanya, kejadian aura akan memengaruhi otak yang mana aliran darah ke otak akan terhambat.
“Padahal, stroke sendiri biasanya disebabkan berkurangnya pasokan darah ke otak,” kata dia seraya mengingatkan pasien migrain untuk tidak panik.
“Temuan bahwa risiko stroke tiga kali lipat bagi penderita migrain yang sering kambuh itu sifatnya relatif dan rata-rata kejadiannya rendah,” pungkasnya. (Koran SI/Koran SI/nsa)
sumber okezone.com